Kamis, 29 Februari 2024

Pengalaman Pertama Berkunjung ke Tanah Baduy

Mengamati keseharian sekelompok masyarakat yang berbeda dengan buadaya sehari-hari kita selalu terdengar menarik. Hal baru, tempat baru, teman baru, suasana baru. Semuanya membuat kita bergairaih ingin merasakannya. Itulah yang melatari saya untuk ingin segera menginjakan kaki di tanah Baduy, selagi masih ada kesempatan. dan pada awal Februari 2024 akhinya kesempatan itu datang.

Pagi itu, saya memulai perjalanan dari Jakarta menuju Banten menggunakan rute KRL dari stasiun Tanah Abang dengan tujuan akhir stasiun Rangkasbitung. ini pertamakalinya saya mencoba rute KRL terpanjang di Indonesia dengan waktu tempuh setikar 2 jam dan biaya tiket sebesar Rp 8.000 Saya cukup kaget dengan harga tiket yang begitu murah karena durasi perjalananya cukup panjang. Saya sampai di stasiun Rangkasbitung pukul 09.30 kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan microbus yang telah disediakan pihak open trip menuju kampung Cijahe, pos pertama dan tempat istirahat sebelum melanjutkan pendakian menuju Baduy Dalam. 

Siang itu ketika kami tiba suasana pos sudah sangat ramai dengan wisatawan. Kami semua berkumpul di sebuah rumah panggung bambu yang tak begitu luas mengingat jumlah wisatawan yang jumlahnya puluhan, jadi perlu sedikit usaha untuk mencari tempat duduk dan menaruh barang bawaan. Kami sholat, makan, istirahat dan bersiap-siap disana sebelum tour leader membawa kami menuju Baduy Dalam. Sesuai rencana awal, kami akan mulai trekking dari Kampung Cijahe, dimana kampung ini merupakan salah satu jalur tercepat menuju Baduy Dalam dengan estimasi waktu 2-4 jam. dan akan pulang menggunakan jalur Ciboleger dengan estimasi waktu 5-9 jam tergantung cuaca, medan, dan kondisi fisik masing-masing peserta rombongan. Saya sempat bertanya kepada salah satu warga lokal yang akan memandu perjalanan kami menuju Baduy dalam "Kira-kira, tanpa membawa wisatawan berapa lama waktu tempuh dari Cijahe menuju Baduy dalam?" dengan suara lirih dan terkesan malu dia menjawab "30-40 menit, paling lama satu jam".  

Sabtu sore itu sebelum kami mulai mendaki nuansanya sedikit gerimis. Langit mendung dan embusan angin lirih terasa lebih sejuk dari biasanya. Setelah briefing dan mengabadikan momen bersama akhirnya kami memulai pendakian. Cuaca Baduy saat itu memang kurang bersahabat, tapi tidak menyurutkan semangat dan rasa penasaran kami tentang hal-hal yang akan kami jumpai nanti di Baduy Dalam. 

Perjalanan kami dipandu dua orang Baduy Dalam bernama Kamong (15th) dan Coki (9th). Sama seperti warga Baduy Dalam pada umumnya Kamong dan Coki tidak beralas kaki. Mereka mengenakan pakaian adat berupa sarung loreng hitam, jamang sangsang dan ikat kepala berwarna putih. Adat istiadat setempat tidak memperbolehkan anak-anak Baduy Luar mapaun Baduy Dalam untuk bersekolah jadi, Kamong dan Coki melakukan perkerjaan sampingan sebagai porter sekaligus pemandu wisatawan menuju Baduy Dalam setiap akhir pekan. Pada hari-hari biasa, Coki dan Kamong biasanya membantu orang tua mereka untuk berkebun, berladang atau menjual hasil-hasil pertanian seperti buah, madu, palawija dan kerajinan khas Baduy ke desa-desa setempat.

Dalam perjalanan menuju Baduy Dalam, medan yang kami lewati cukup menantang karena terjal, licin dan berlumpur. Sejujurnya, itu lumayan menyulitkan. Banyak diantara kami yang terpeleset dan akhirnya memilih untuk mendaki tanpa alas kaki karena merasa lebih aman. Maka imbauan saya bagi teman-teman yang akan mengunjungi Baduy di musim hujan lebih baik gunakan sepatu gunung yang proper dan gunakan trekking pole karena itu sangat membantu untuk menahan beban tubuh dari potensi tergelincir. Kami mendaki sekitar 2,5 jam dan akhirnya sampai di jembatan terakhir yang merupakan jembatan pemisah antara Baduy Luar dan Baduy Dalam. Setelah melewati jembatan tersebut kami tidak diperbolehkan mengunakan gedget dan mendokumentasikan apapun. Hal ini dilakukan untuk menghormati aturan adat istiadat, melindungi privasi, keotentikan kultur serta keyakinan masayarakat setempat.

 
Tumpahan rintik hujan yang jatuh ke tanah Baduy memberikan nuansa alam yang sunyi, damai dan tenang sehingga membuat perjalanan kami sore itu terasa lebih bermakna. Berkali-kali saya mengatakan kepada kawan seperjalan, betapa pemandangan hutan dengan tanah berlumpur dipenuhi  dedaunan rimbun dan pohon tumbang di atas aliran sungai kecil yang harus kami lalui mengingatkan saya pada saluran TV National Geographic. Sejuk dan indah dipandang. disatu titik saya merasa dekat dengan alam. Senang rasanya bisa bernafas dengan baik di udara yang bersih, membiarkan oksigen mengaliri paru-paru, menyegarkan pikiran dan meningkatkan energi untuk melanjutkan perjalanan.

Menjelang Maghrib perjalanan panjang kami akhirnya terbayar setelah melihat rumah-rumah tradisional dari bambu dan kayu dengan bentuk dan ukuran yang seragam berjejer rapat dihapan kami. Aktivitas penduduk desa yang mulai meredup membuat suasana Desa Cibeo tampak sepi. Tak ada anak kecil berkeliaran karena cuaca masih sedikit gerimis sementara langit semakin merayap gelap. Kami langsung menuju ke kediaman Ayah Sapri yang merupakan orang tua Kamong. Disanalah kami akan bermalam. Selain Ayah Sapri, ada empat anggota keluarga lain yang akan menemani kami. yakni Ambu, Kakak perempuan, Adik perempuan dan Keponakan Kamong yang masih bayi. Kamong sendiri tidak ikut menemani kami bermalam disana, karena harus segera bertolak menginap di rumah ladang. 

Saat itu, kami tiba dengan kondisi pakaian penuh lumpur. Jadi setelah beramah-tamah sebentar dan meletakan barang bawaan, saya dan dua kawan lainnya memutuskan untuk pergi membersihkan diri di sungai yang lokasinya tak jauh dari rumah Ayah Sapri. Tidak seperti sungai yang sebelumnya kami jumpai selama perjalanan. Sungai di Baduy Dalam airnya sangat jernih meskipun sebelumnya diguyur hujan deras. Kami mandi bersama warga lokal yang sedang melalakukan aktivitas hariannya seperti mencuci peralatan dapur, pakaian dan bahan-bahan untuk dimasak. Awalnya kami merasa malu karena tidak terbisa mandi di tempat terbuka dengan orang lain di sekeliling kami. Tapi siapa yang peduli? semua orang disini mandi dengan cara seperti itu, jadi kami pun harus menyesuaikan diri.

Dingin. Itulah yang saya rasakan ketika pertama kali mencelupkan kaki ke sungai. Tapi setelah menceburkan seluruh badan rasanya sejuk, segar dan nyaman. Saya benar-benar menikmati sensasi mandi di aliran sungai jernih di atas bebatuan diiringi suara alam sambil berbaring, bergantian menggosok punggung dengan batu dan mengobrol seru bersama teman-teman membuat kegiatan itu terasa menyenangkan. Kerlip cahaya kunang-kunang yang terbang di atas kami seperti pemandangan  ajaib yang menghibur lelah karena perjalanan panjang. Kami bisa mendengar gemericik air, kicauan burung di hutan sekitar, suara dedaunan yang berdesir dengan angin serta tawa anak-anak yang mandi dan bercanda di tepi sungai. Meski rasanya ingin sekali mandi berlama-lama, kami harus segera pulang sebelum hari berubah malam. 

Saat kembali, cahaya remang obor yang digantung didekat tungku sudah menyinari beberapa bagian rumah panggung yang akan menjadi tempat tidur kami malam ini. Meskipun rintik gerimis tak kunjung reda, namun kehangatan dan kebersamaan terasa kuat karena tidak ada ponsel di tengah-tengah kami. Kami hanya fokus mengobrol, bertukar cerita dan mengingat momen-momen pahit manis dan lucu dalam proses menuju kesini. Suara tawa dan obrolan ringan kami memecah keheningan dan menciptakan suasana hangat kala itu hingga tak terasa akhirnya waktu makan malam pun tiba. Kami makan masakan Ambu dengan senyap menggunakan peralatan makan yang tak biasa seperti sendok dan gelas dari bambu. Setelah bersantap malam, kami mengenalkan diri satu sama lain lalu bertukar cerita, mendengarkan Ayah Sapri berbicara tentang adat istiadat, keyakinan, hukum dan tradisi perkawinan, serta hal-hal menarik lainnya yang belum kami ketahui tentang suku Baduy. Malam itu ditutup dengan makan durian dari hasil kebun Ayah Sapri. Letih karena perjalanan pajang sejak pagi kian terasa saat malam semakin larut. Kami berbaring dan akhirnya tertidur pulas dalam pelukan malam,-

© Nayla Writing Room
Maira Gall