Factfulness merupakan buku bestseller yang ditulis oleh Hans Rosling, seorang guru besar ilmu kesehatan internasional, dokter, peneliti, konsultan WHO dan UNICEF serta salah satu pendiri Gapminder Foundation. Factfulness merupakan buku kolaborator Hans bersama Ola Rosling dan Anna Rosling. Buku ini telah diterjemakan dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia dan telah dibaca oleh beberapa tokoh besar dunia seperti Barack Obama dan Bill Gates.
Factfulness merupakan buku yang akan menuntun kita untuk mengubah perspektif dan kecenderungan kita yang menganggap bahwa dunia semakin buruk padahal faktanya tidaklah demikian. Jika membandingkan dunia yang sekarang dengan dunia beberapa puluh tahun yang lalu, jelas banyak sekali perubahan-perubahan baik yang patut kita apresiasi. Meskipun di dunia ini masih banyak hal-hal buruk yang terjadi, tapi hal-hal buruk tersebut disaat bersamaan juga disertai dengan banyak munculnya hal-hal baik. Misalnya, semakin menurunnya angka kemiskinan ekstrim, semakin meratanya akses pendidikan, akses kesehatan, listrik dan air, semakin meningkatnya usia harapan hidup rata-rata, serta berbagai kemajuan manakjubkan lainnya di berbagai sektor.
Buku ini tidak menuntut kita untuk selalu berpikir baik tentang dunia, melainkan mempertahankan dua pikiran sekaligus bahwa sesuatu dapat membaik sekaligus tetap buruk, dan melihat segala sesuatunya beradasarkan data, bukan perasaan atau ilusi. Garis besar dalam buku Factfulness membahas tentang sepuluh insting atau naluri yang kerap membuat kita salah paham dan tidak memandang dunia sebagai mana mestinya sesuai dengan fakta yang ada. Disini, saya tidak akan membahas sepuluh insting sekaligus. Saya hanya akan memberi gambaran besar tentang beberapa insting yang menurut saya paling menarik dan seringkali kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
The Gap Instinct (Naluri Terhadap Kesenjangan)
Kita
seringkali melabeli segala sesuatu dalam dua kategori berbeda yang
bertentangan seperti memberi jarak yang lebar antar keduanya supaya
perbedaan dalam imajinasi kita benar-benar ketara dan susah terpatahkan,
misalnya mengkategorikan negara berdasarkan dua jenis: negara kaya
versus negara miskin. Dengan mengkategorikan dunia ke dalam dua kotak
(miskin dan kaya) hal tersebut dapat menjadikan sudut pandang kita
terdistorsi dalam menggambarkan dunia yang kita kenal. Ketika orang
mangatakan "negara berkembang" dan "negara maju" yang ada di pikiran
mereka mungkin adalah "negara miskin" dan "negara kaya" "west/rest" dan "low income/ high income" dan semacamnya. Padahal faktanya, saat ini kesenjangan antara dua perbedaan yang bertentangan tersebut sudah tidak ada.
Saat ini negara-negara miskin yang sedang berkembang tidak lagi hadir sebagai kelompok yang berbeda. Kesenjangan itu tidak ada. Sekarang, sebagaian bersar orang, 75% hidup di negara-negara berpendapatan sedang, tidak miskin dan tidak kaya.
Meskipun sekala negara dengan penduduk yang masih menderita kemiskinan ekstrim masih ada, tapi sebagian besar warga dunia saat ini sudah berada di bagian tengah, tidak miskin dan tidak kaya.
The Destiny Instinct (Naluri Terhadap Takdir)
"Naluri terhadap takdir ini adalah gagasan bahwa karakteristik bawaan menentukan takdir sebuah bangsa, negara, agama, atau tradisi dan kebudayaan. Menurut gagasan ini, segala sesuatu akan tetap seperti "apa adanya" karena bermacam alasan yang tidak dapat dihindari: akan tetap seperti itu dan tidak akan pernah berubah"Sebagian dari kita mungkin berasumsi bahwa keadaan yang statis adalah sebuah takdir. Sebuah tradisi dalam suatu negara, agama, atau kebudayaan yang dalam keberlangsungan praktiknya merugikan pihak-pihak tertentu dan telah berlangsung selama Puluhan abad tampak seperti batu cadas yang tidak berubah dan kita mengasumsikannya sebagai "takdir".
Misalkan saja di Yaman. dalam buku I'm Nujood Age 10 and Divorce dikatakan bahwasanya di Yaman, agama hanyalah salah satu faktor yang mendorong para ayah untuk menikahkan anak perempuan mereka sebelum mencapai usia pubertas. Faktor pendukung lainnya adalah kemiskinan, adat istiadat setempat, kurangnya pendidikan serta kehormatan keluarga. Bahkan ada sebuah pribahasa dari salah satu suku di Yaman yang menyatakan "untuk menjamin pernikahan yang berbahagia, nikahilah gadis berusia Sembilan tahun". Kebudayaan partiaki dengan semboyan agama tersebut sudah berlangsung selama berabad-abad dan tampak susah sekali untuk dihilangkan.
"Masyarakat dan kebudayaan tidak seperti batu cadas yang tidak berubah dan tidak dapat diubah. Semua itu bergerak. Masyarakat dan kebudayaan Barat bergerak, masyarakat dan kebudayaan yang bukan Barat juga bergerak—seringkali jauh lebih cepat"
Terlepas dari perang dan kemiskinan, saat ini praktik ekstrim tersebut perlahan-lahan sudah berkurang. Banyak diantara perempuan Yaman yang saat ini sudah dapat mengakses pendidikan sehingga persentase perempuan yang buta huruf juga telah berkurang.
Dalam akhir bab ini Hans menyebutkan bahwasanya nilai-nilai yang mengunggulkan laki-laki seperti yang kita temukan saat ini di banyak negara Asia dan Afrika sesungguhnya bukan nilai-nilai Asia atau nilai-nilai Afrika. Nilai-nilai itu juga bukan nilai-nilai islam. Bukan nilai-nilai ketimuran, itu hanya nilai-nilai patriarkal yang akan hilang seiring dengan kemajuan pendidikan, sosial dan ekonomi. Pandangan-pandangan seperti itu akan hilang. Bukan tidak dapat diubah.
Dengan mengetahui fakta bahwasanya kita lebih dengan dengan kemajuan dari pada kemunduran dan bahwa dunia tidak sedramatis yang kita bayangkan, hal tersebut memungkinkan untuk membuat perasaan stres atau putus asa yang kita rasakan menjadi berkurang. Ketika memiliki wawasan dunia berbasis fakta, kita akan melihat bahwa dunia tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini. dengan demikian kita juga dapat melihat dan mempertimbangkan apa yang harus kita lakukan untuk menjadikannya lebih baik.
Tidak ada komentar
Posting Komentar